(10) Pasir putih, ikan, dan bulu ayam di Kepulauan Riung, Flores KOMPAS.com - Tiba di Riung malam hari, sempat membuat kami ragu. Apakah benar ini salah satu tempat wisata yang menjadi andalan di Kabupaten Ngada, Flores? Gelap gulita, dan hanya 1-2 orang yang berlalu lalang, jauh dari ekspektasi saya bahwa ini adalah kota wisata. Tidak terdapat bangunan-bangunan besar, melainkan beberapa rumah saja dan perkebunan kelapa serta hanya satu buah cabang bank dengan tulisan riung, yang membuat kami yakin sudah sampai di kota riung.
Tanpa banyak kesulitan, kami menemukan sebuah penginapan yang sesuai dengan keinginan kami. Rupanya, kota Riung tengah mengalami pemadaman listrik akibat gardu PLN yang telah rusak selama 1 minggu. Sehingga, itu cukup menjelaskan mengapa kota begitu gelap, dan rumah-rumah penduduk menggunakan lilin sebagai penerangan. Agak disayangkan, apabila salah satu andalan wisata kabupaten, mengalami kerusakan listrik seperti ini, dan harus menunggu lebih dari 1 minggu untuk perbaikan.
Sempat saya bertanya dengan pemilik penginapan, dimana pantai pasir putih yang saya lihat di brosur Kabupaten Ngada? Apakah dekat dengan penginapan? Rupanya pantai dan spot snorkeling yang terkenal itu, hanya bisa dicapai dengan menyewa perahu. Jam 9 pagi waktu indonesia tengah, tanpa menunggu lama, kami langsung berangkat menuju dermaga kayu yang tidak jauh dari penginapan, dan naik ke atas kapal kayu kecil dengan satu mesin yang nantinya akan membawa kami island hopping.
Pulau dengan ribuan kalong
Hanya membutuhkan waktu 15 menit, kapal memperlambat lajunya, dan kami tiba di pemberhentian pertama, Pulau Kalong. Kapal tidak merapat ke pantai karena air laut saat itu masih surut. Perairan sekitar pulau yang bening dan dangkal sebetulnya bisa saja kami lewati dengan jalan kaki. Tetapi waktu yang sempit dan beberapa penampakan bulu babi mengurungkan niat saya. Suara kalong mulai terdengar, dan semakin jelas ketika mesin kapal dimatikan.
Benar saja ketika saya memalingkan muka, terlihat dari kejauhan rimbunan pohon berwarna hitam yang ternyata adalah ratusan atau mungkin ribuan kalong bergelantungan. Seperti sadar dengan kehadiran kami, mereka berterbangan seirama pindah dari satu sisi pulau, ke sisi lainnya. Guide kami pun berujar, "Kami sangat beruntung bisa menyaksikan kalong-kalong masih beraktivitas di siang bolong".
Setelah puas mengambil foto dan merekam pemandangan itu di kepala, kami melanjutkan perjalanan ke snorkeling spot terbaik di kawasan wisata ini. Laut yang kami lewati semakin dangkal, dan mulai terlihat dasarnya dari atas kapal. Pemandangan yang selalu saya kagumi selama di perjalanan lintas Flores ini. Begitu mudah mencari hamparan pasir serta laut biru toska dengan pemandangan dasar lautnya.
Membeli ikan diatas laut langsung dari nelayan.
Di tengah perjalanan, kapal mendekati seorang nelayan yang sedang memancing, dengan maksud membeli ikan yang ia tangkap untuk makan siang kami. Ternyata ikan-ikan yang nelayan ini tangkap adalah ikan karang dengan ukuran yang sangat besar. Persis seperti ikan yang ditangkap oleh para pemancing profesional di televisi dengan alat-alat rumitnya. Sedangkan bapak nelayan ini hanya menggunakan seutas nilon dan bulu ayam sebagai umpannya. Kami sempat berfoto sedikit layaknya pemancing profesional dengan ikan-ikan beliau, kemudian memilih ikan paling besar untuk kami panggang cara tradisional di pulau.
Sampai di titik snorkeling yang dimaksud, tanpa menunggu lama saya langsung mencicipi snorkeling di riung 17 pulau. Meskipun kedalaman 5 meter, tetapi dasar laut terlihat sangat jelas. terumbu karang berwarna-warni sempat membuat saya lupa waktu. Apabila bukan karena gogle yang saya gunakan tidak berembun, sepertinya saya enggan untuk naik keatas kapal.
Untungnya salah seorang dari kami membawa pasta gigi, untuk saya oleskan di snorkel, dan saya bisa kembali lagi masuk ke air melihat keindahan riung. Ikan-ikan berukuran kecil dengan berbagai warnanya, terlihat bermain-main diatas terumbu karang. Beberapa kali juga saya melihat anemon-anemon serta bintang laut berwarna biru menempel di karang. Ingin lebih lama menyelam, tetapi waktu kami terbatas. Sehingga kami langsung berangkat lagi ke pemberhentian terakhir kami, Pulau Rutong.
Pantai dengan hamparan pasir putih yang berkilauan, serta tidak ada orang lain selain kami, inilah yang saya tunggu-tunggu di perjalanan ini. Laut berwarna toska, dan terdapat bintang laut terpapar di sepanjang pantai, membuat saya tidak tahan untuk menjelajah pulau ini hingga ke gundukan pasir dan beberapa burung camar terbang ketika saya mendekati mereka. Dua jam disini terasa kurang untuk sekedar berendam dan bermain-main dengan ikan kecil yang langsung datang ketika saya membawa sisa-sisa makanan ke dekat mereka.
Ikan bakar ala Robinson Crusoe
Makan siang kami ternyata benar di masak dengan cara tradisional. Dengan mengumpulkan kayu-kayu kering seadanya, kami membuat tumpukan yang nantinya menjadi tempat untuk memanggang ikan. Tanpa bumbu apapun, ikan dibersihkan di laut, dan di panggang diatas bara api sisa-sisa batok kelapa yang menjadi arang. Mengutip dari teman ayah saya, kami seperti sedang terdampar di pulau, layaknya robinson crusoe. Makan siang ikan segar baru ditangkap, dan langsung memanggangnya dengan modal ranting kayu tanpa bumbu apapun.
Sambil menunggu ikan matang, datang dua orang nelayan yang juga membawa tangkapan mereka, dan ikut membakar di tungku buatan kami. Mengobrol tentang banyak hal, mereka sedikit bercerita kalau menjadi nelayan, belum tentu setiap saat mendapat tangkapan, dan sangat tergantung keadaan alam. Tetapi yang sedikit menyedihkan adalah, tangkapan mereka dinilai tidak terlalu tinggi, sangat jauh bila saya bandingkan dengan harga ikan di kota Flores, apalagi di Jakarta.
Nelayan itu juga bercerita, sebetulnya banyak lobster terdapat di Riung. Tetapi penangkapan lobster sudah dilarang, dan sering dilakukan patroli oleh polisi laut di taman wisata ini. Setidaknya ini adalah hal bagus jika patroli laut benar dilakukan rutin disana, untuk menjaga agar tidak terjadi kerusakan terumbu atau eksplotasi berlebih dari taman wisata ini.
Setelah cukup lama berendam dengan ikan-ikan kecil dan merasa kulit mulai terbakar, kami kembali menaiki kapal kayu, dan pulang menuju dermaga. Tidak terasa langit mulai berwarna oranye, dan masih ada ratusan kilometer lagi yang harus kami tempuh untuk mengejar kapal penyebrangan esok hari menuju Sumbawa. Sambil meyusuri jalan pulang menuju penginapan, sempat terpikir seandainya kami tidak diburu waktu, satu malam lagi tanpa listrik tidak jadi soal, melihat masih banyaknya keindahan Riung 17 Pulau yang belum kami jamahi. (Get Lost in Indonesia/Hasna Afifah)
Tanpa banyak kesulitan, kami menemukan sebuah penginapan yang sesuai dengan keinginan kami. Rupanya, kota Riung tengah mengalami pemadaman listrik akibat gardu PLN yang telah rusak selama 1 minggu. Sehingga, itu cukup menjelaskan mengapa kota begitu gelap, dan rumah-rumah penduduk menggunakan lilin sebagai penerangan. Agak disayangkan, apabila salah satu andalan wisata kabupaten, mengalami kerusakan listrik seperti ini, dan harus menunggu lebih dari 1 minggu untuk perbaikan.
Sempat saya bertanya dengan pemilik penginapan, dimana pantai pasir putih yang saya lihat di brosur Kabupaten Ngada? Apakah dekat dengan penginapan? Rupanya pantai dan spot snorkeling yang terkenal itu, hanya bisa dicapai dengan menyewa perahu. Jam 9 pagi waktu indonesia tengah, tanpa menunggu lama, kami langsung berangkat menuju dermaga kayu yang tidak jauh dari penginapan, dan naik ke atas kapal kayu kecil dengan satu mesin yang nantinya akan membawa kami island hopping.
Pulau dengan ribuan kalong
Hanya membutuhkan waktu 15 menit, kapal memperlambat lajunya, dan kami tiba di pemberhentian pertama, Pulau Kalong. Kapal tidak merapat ke pantai karena air laut saat itu masih surut. Perairan sekitar pulau yang bening dan dangkal sebetulnya bisa saja kami lewati dengan jalan kaki. Tetapi waktu yang sempit dan beberapa penampakan bulu babi mengurungkan niat saya. Suara kalong mulai terdengar, dan semakin jelas ketika mesin kapal dimatikan.
Benar saja ketika saya memalingkan muka, terlihat dari kejauhan rimbunan pohon berwarna hitam yang ternyata adalah ratusan atau mungkin ribuan kalong bergelantungan. Seperti sadar dengan kehadiran kami, mereka berterbangan seirama pindah dari satu sisi pulau, ke sisi lainnya. Guide kami pun berujar, "Kami sangat beruntung bisa menyaksikan kalong-kalong masih beraktivitas di siang bolong".
Setelah puas mengambil foto dan merekam pemandangan itu di kepala, kami melanjutkan perjalanan ke snorkeling spot terbaik di kawasan wisata ini. Laut yang kami lewati semakin dangkal, dan mulai terlihat dasarnya dari atas kapal. Pemandangan yang selalu saya kagumi selama di perjalanan lintas Flores ini. Begitu mudah mencari hamparan pasir serta laut biru toska dengan pemandangan dasar lautnya.
Membeli ikan diatas laut langsung dari nelayan.
Di tengah perjalanan, kapal mendekati seorang nelayan yang sedang memancing, dengan maksud membeli ikan yang ia tangkap untuk makan siang kami. Ternyata ikan-ikan yang nelayan ini tangkap adalah ikan karang dengan ukuran yang sangat besar. Persis seperti ikan yang ditangkap oleh para pemancing profesional di televisi dengan alat-alat rumitnya. Sedangkan bapak nelayan ini hanya menggunakan seutas nilon dan bulu ayam sebagai umpannya. Kami sempat berfoto sedikit layaknya pemancing profesional dengan ikan-ikan beliau, kemudian memilih ikan paling besar untuk kami panggang cara tradisional di pulau.
Sampai di titik snorkeling yang dimaksud, tanpa menunggu lama saya langsung mencicipi snorkeling di riung 17 pulau. Meskipun kedalaman 5 meter, tetapi dasar laut terlihat sangat jelas. terumbu karang berwarna-warni sempat membuat saya lupa waktu. Apabila bukan karena gogle yang saya gunakan tidak berembun, sepertinya saya enggan untuk naik keatas kapal.
Untungnya salah seorang dari kami membawa pasta gigi, untuk saya oleskan di snorkel, dan saya bisa kembali lagi masuk ke air melihat keindahan riung. Ikan-ikan berukuran kecil dengan berbagai warnanya, terlihat bermain-main diatas terumbu karang. Beberapa kali juga saya melihat anemon-anemon serta bintang laut berwarna biru menempel di karang. Ingin lebih lama menyelam, tetapi waktu kami terbatas. Sehingga kami langsung berangkat lagi ke pemberhentian terakhir kami, Pulau Rutong.
Pantai dengan hamparan pasir putih yang berkilauan, serta tidak ada orang lain selain kami, inilah yang saya tunggu-tunggu di perjalanan ini. Laut berwarna toska, dan terdapat bintang laut terpapar di sepanjang pantai, membuat saya tidak tahan untuk menjelajah pulau ini hingga ke gundukan pasir dan beberapa burung camar terbang ketika saya mendekati mereka. Dua jam disini terasa kurang untuk sekedar berendam dan bermain-main dengan ikan kecil yang langsung datang ketika saya membawa sisa-sisa makanan ke dekat mereka.
Ikan bakar ala Robinson Crusoe
Makan siang kami ternyata benar di masak dengan cara tradisional. Dengan mengumpulkan kayu-kayu kering seadanya, kami membuat tumpukan yang nantinya menjadi tempat untuk memanggang ikan. Tanpa bumbu apapun, ikan dibersihkan di laut, dan di panggang diatas bara api sisa-sisa batok kelapa yang menjadi arang. Mengutip dari teman ayah saya, kami seperti sedang terdampar di pulau, layaknya robinson crusoe. Makan siang ikan segar baru ditangkap, dan langsung memanggangnya dengan modal ranting kayu tanpa bumbu apapun.
Sambil menunggu ikan matang, datang dua orang nelayan yang juga membawa tangkapan mereka, dan ikut membakar di tungku buatan kami. Mengobrol tentang banyak hal, mereka sedikit bercerita kalau menjadi nelayan, belum tentu setiap saat mendapat tangkapan, dan sangat tergantung keadaan alam. Tetapi yang sedikit menyedihkan adalah, tangkapan mereka dinilai tidak terlalu tinggi, sangat jauh bila saya bandingkan dengan harga ikan di kota Flores, apalagi di Jakarta.
Nelayan itu juga bercerita, sebetulnya banyak lobster terdapat di Riung. Tetapi penangkapan lobster sudah dilarang, dan sering dilakukan patroli oleh polisi laut di taman wisata ini. Setidaknya ini adalah hal bagus jika patroli laut benar dilakukan rutin disana, untuk menjaga agar tidak terjadi kerusakan terumbu atau eksplotasi berlebih dari taman wisata ini.
Setelah cukup lama berendam dengan ikan-ikan kecil dan merasa kulit mulai terbakar, kami kembali menaiki kapal kayu, dan pulang menuju dermaga. Tidak terasa langit mulai berwarna oranye, dan masih ada ratusan kilometer lagi yang harus kami tempuh untuk mengejar kapal penyebrangan esok hari menuju Sumbawa. Sambil meyusuri jalan pulang menuju penginapan, sempat terpikir seandainya kami tidak diburu waktu, satu malam lagi tanpa listrik tidak jadi soal, melihat masih banyaknya keindahan Riung 17 Pulau yang belum kami jamahi. (Get Lost in Indonesia/Hasna Afifah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar