BOALEMO, KOMPAS - Kondisi hutan mangrove di kawasan Teluk Tomini, pesisir pantai selatan Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, semakin mengkhawatirkan. Dari luasan 14.700 hektar yang ada di wilayah itu, kini tinggal tersisa 8.700 hektar sehingga ekosistem kawasan turut terancam.
Berdasarkan pengamatan lapangan pada hari Sabtu (5/2), bekas areal hutan mangrove di Teluk Tomini itu sudah berubah menjadi tambak udang dan ikan. Bahkan, beberapa tambak sudah tidak dimanfaatkan lagi, dan ditinggalkan begitu saja oleh pengelolanya. Bekas tambak menyisakan hamparan kosong berisi air dan tumbuhan liar.
Menurut aktivis lingkungan dari Sustainable Coastal Livelihoods and Management (Susclam), Rahman Dako, alih fungsi hutan mangrove menjadi area tambak sudah terjadi dalam puluhan tahun terakhir. Umumnya, pembukaan hutan mangrove menjadi kawasan tambak disebabkan alasan ekonomi semata.
”Pendatang baru di wilayah tersebut mempekerjakan penduduk lokal untuk membuka tambak. Karena menguntungkan, alih fungsi hutan mangrove semakin luas. Sementara itu, perhatian pemerintah daerah sangat lemah, termasuk dalam penegakan hukumnya,” ujar Rahman.
Bahkan, imbuh Rahman, perambahan hutan mangrove sudah memasuki kawasan Cagar Alam Panua di perbatasan Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Pohuwato. Dari luasan hutan mangrove 1.500 hektar di cagar alam itu, 60 persen atau sekitar 900 hektar sudah berubah menjadi tambak.
”Pemerintah harus tegas menghentikan semakin meluasnya perambahan hutan mangrove tersebut. Jika tidak, dalam 10 tahun ke depan pesisir selatan Teluk Tomini bisa kehilangan hutan mangrovenya,” ucap Rahman.
Bupati Boalemo Iwan Bokings mengakui jika di wilayahnya sedang terjadi perambahan hutan mangrove menjadi area tambak. Salah satu faktor terjadinya perambahan itu adalah masyarakat belum tahu jika perbuatan itu mengancam kelestarian lingkungan. Mereka juga belum paham daerah mana saja yang masuk cagar alam atau hutan lindung.
Iwan menambahkan, baru pada 2010 dibuat pemetaan wilayah mana saja di Boalemo yang diterapkan larangan perambahan hutan.
Soal penegakan hukum, warga yang sudah telanjur merusak hutan mangrove tidak bisa serta merta dikenai sanksi berat.
Ia berjanji akan bekerja sama dengan aparat hukum untuk menyosialisasikan larangan itu.
”Saya juga sudah menggulirkan program Pos Pemberdayaan Keluarga agar masyarakat tidak tergantung pada pengelolaan tambak semata, tetapi melestarikan mangrove serta memanfaatkan nilai ekonomis dari hutan itu,” kata Iwan. (apo)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar