Kamis, 07 April 2011

Laut Nan Asam

Karbon dioksida yang kita lepaskan ke udara meresap ke dalam lautan dan perlahan-lahan mengasamkannya. Apakah tiram, remis, dan terumbu karang masih bisa bertahan seratus tahun dari sekarang?
Oleh ELIZABETH KOLBERT
Foto oleh DAVID LIITTSCHWAGER
Castello Aragonese adalah sebuah pulau kecil yang mencuar di Laut Tirreno/Tyrrhenian Sea. Pulau yang terletak 27 kilometer di barat Napoli/Naples ini dapat dijangkau dari Pulau Ischia yang lebih besar melalui jembatan batu yang sempit dan panjang. Para wisatawan mengunjungi Castello Aragonese untuk melihat suasana kehidupan di masa lalu. Sebaliknya, para ilmuwan yang mengunjungi pulau itu datang untuk melihat suasana kehidupan di masa depan.

Karena anomali geologi, laut di sekitar Castello Aragonese memberi gambaran keadaan lautan tahun 2050 dan setelahnya. Gelembung CO2 muncul dari celah vulkanik di dasar laut dan larut membentuk asam karbonat. Asam karbonat relatif lemah; setiap hari diminum orang dalam minuman berkarbonasi. Namun, jika terkumpul cukup banyak, senyawa ini dapat membuat air laut bersifat korosif. "Nyaris tak ada makhluk hidup yang bisa bertahan pada kadar CO2 yang sangat tinggi," jelas Jason Hall-Spencer, ahli biologi laut dari University of Plymouth Inggris. Castello Aragonese merupakan contoh alami bagi proses yang tidak alami: Pengasaman yang terjadi di lepas pantainya juga terjadi di seluruh lautan di dunia dengan laju yang lebih perlahan, seiring semakin banyaknya karbon dioksida dari knalpot dan cerobong asap yang diserap lautan.

Hall-Spencer telah memelajari laut di sekitar pulau itu selama sewindu terakhir, dengan saksama mengukur keadaan air dan meneliti ikan, karang, serta moluska yang hidup dan—terkadang—larut di sana. Pada suatu hari di musim dingin, aku berenang bersamanya dan Maria Cristina Buia, ilmuwan di Stasiun Zoologi Anton Dohrn Italia, untuk melihat efek pengasaman dari dekat. Kami membuang sauh sekitar 45 meter dari pantai Castello Aragonese. Gumpalan teritip membentuk garis keputihan di dasar tebing pulau yang tak henti dihempas gelombang. "Teritip memang sangat tangguh," ujar Hall-Spencer. Meskipun begitu, di daerah yang air lautnya paling terasamkan, mereka tak terlihat.

Kami semua terjun ke laut. Buia mencungkil beberapa limpet naas dari sebuah batu. Hewan ini memasuki perairan yang terlalu korosif baginya saat berkeliaran mencari makanan. Cangkangnya begitu tipis sehingga hampir transparan. Gelembung karbon dioksida naik dari dasar laut. Hamparan lamun melambai di bawah kami. Warnanya tampak hijau terang; organisme kecil yang biasanya melapisi daunnya dan mengusamkan warnanya, tak terlihat satu pun. Bulu babi, yang biasanya ditemukan tak jauh dari semburan, juga tak terlihat, hewan itu bahkan tak bisa hidup di air yang sedikit terasamkan.

Ubur-ubur, lamun, dan ganggang—tak banyak hewan lain yang hidup di daerah semburan paling banyak di Castello Aragonese. Bahkan beberapa ratus meter dari situ, banyak spesies asli yang tidak dapat bertahan hidup. Kadar asam di perairan itu diperkirakan sama dengan keasaman laut di seluruh dunia pada tahun 2100. "Di pelabuhan yang tercemar, biasanya hanya ada beberapa spesies mirip ganggang yang mampu mengatasi kondisi yang sangat berfluktuasi," ujar Hall-Spencer begitu kami kembali ke kapal. "Itulah yang akan terjadi jika level CO2 meningkat drastis."

Sejak awal revolusi industri, bahan bakar fosil—batubara, minyak, dan gas alam—yang dibakar dan hutan yang ditebang cukup untuk menghasilkan lebih dari 500 miliar ton CO2. Sebagaimana diketahui, atmosfer saat ini memiliki konsentrasi CO2 tertinggi dalam 800.000 tahun terakhir, dan mungkin lebih.

Yang kurang diketahui umum adalah emisi karbon juga mengubah lautan. Udara dan air terus-menerus bertukar gas, sehingga sebagian dari semua zat yang terlepas ke atmosfer akhirnya masuk ke laut. Angin dengan cepat melarutkannya ke air hingga kedalaman beberapa ratus meter, dan selama berabad-abad arus menyebarkannya ke kedalaman laut. Pada 1990-an tim ilmuwan internasional melakukan proyek penelitian besar, di antaranya mengumpulkan dan menganalisis lebih dari 77.000 sampel air laut dari berbagai kedalaman dan lokasi di seluruh dunia. Pekerjaan itu memakan waktu 15 tahun. Penelitian itu menunjukkan bahwa lautan menyerap 30 persen karbon dioksida yang dihasilkan manusia selama dua abad terakhir. Dan lautan terus menyerap sekitar satu juta ton setiap jam.

Bagi kehidupan di darat, proses ini suatu anugerah; setiap ton CO2 yang diserap laut dari atmosfer berarti berkurang satu ton yang berkontribusi terhadap pemanasan global. Namun, bagi kehidupan di laut, proses ini justru membawa petaka. Kepala National Oceanic and Atmospheric Administration, Jane Lubchenco, seorang ahli ekologi laut, menyebut pengasaman laut sebagai "kembaran pemanasan global yang sama jahatnya."

Skala pH, yang mengukur keasaman melalui konsentrasi ion hidrogen, bernilai dari nol sampai 14. Angka kecil berarti asam kuat, seperti asam klorida, yang mudah melepaskan hidrogen (lebih mudah daripada asam karbonat). Angka besar berarti basa kuat seperti soda kaustik. Air suling murni memiliki pH 7 yang netral. Air laut biasanya sedikit basa, dengan pH sekitar 8,2 di dekat permukaan laut. Sejauh ini emisi CO2 menurunkan pH air laut sekitar 0,1. Seperti skala Richter, skala pH merupakan hasil logaritma, sehingga perubahan nilai kecil sekalipun membawa dampak yang besar. Penurunan pH 0,1 berarti air menjadi 30 persen lebih asam. Jika tren ini terus berlanjut, pH permukaan akan turun menjadi sekitar 7,8 pada tahun 2100. Pada saat itu air akan 150 persen lebih asam dibanding tahun 1800.

Pengasaman yang terjadi sampai saat ini mungkin tak bisa dibalikkan. Meskipun secara teori mungkin saja bahan kimia ditambahkan ke laut untuk melawan efek CO2 tambahan, tetapi untuk melakukannya perlu volume yang sangat banyak; perlu setidaknya dua ton kapur, misalnya, untuk menetralkan satu ton karbon dioksida, dan dunia sekarang menghasilkan lebih dari 30 miliar ton CO2 setiap tahun. Sekalipun emisi CO2, entah bagaimana caranya, berhenti hari ini, perlu puluhan ribu tahun agar kandungan kimia air laut pulih ke kondisi sebelum zaman industri.

Pengasaman berdampak sangat banyak. Karena kondisi ini mendorong perkembangan jenis mikroba laut tertentu dan menghambat jenis yang lain, mungkin ini akan mengubah ketersediaan nutrisi penting seperti besi dan nitrogen. Karena alasan yang sama, proses ini mungkin menyebabkan lebih banyak sinar matahari yang menembus permukaan laut. Dengan mengubah kandungan kimia air laut, pengasaman juga diperkirakan akan mengurangi kemampuan air menyerap dan meredam suara frekuensi rendah hingga 40 persen, membuat beberapa bagian laut lebih berisik. Terakhir, pengasaman mengganggu reproduksi beberapa spesies dan kemampuan hewan lain—yang disebut pengapur (calfifier)—untuk membentuk cangkang dan kerangka dari kalsium karbonat.

Pada tahun 2008, kelompok yang beranggotakan lebih dari 150 peneliti terkemuka mengeluarkan pernyataan bahwa mereka "sangat prihatin terhadap perubahan kandungan kimia air laut yang cepat akhir-akhir ini," yang dalam beberapa dasawarsa dapat "sangat mengganggu organisme laut, jaring makanan, keanekaragaman hayati, dan perikanan." Terumbu karang air hangat merupakan kekhawatiran utama. Namun, karena karbon dioksida lebih mudah larut dalam air dingin, dampaknya justru mungkin muncul lebih dulu di dekat Kutub. Para ilmuwan mendokumentasikan efek yang signifikan pada pteropoda—siput perenang kecil yang merupakan makanan penting bagi ikan, ikan paus, dan burung baik di Arktika maupun Antartika. Percobaan menunjukkan bahwa cangkang pteropoda tumbuh lebih lambat dalam air laut yang terasamkan.

Dapatkah makhluk hidup beradaptasi dengan kandungan kimia laut yang baru? Bukti dari Castello Aragonese tidak menggembirakan. Celah vulkanik telah melepaskan CO2 ke laut itu selama sekurangnya seribu tahun, ujar Hall-Spencer kepada saya saat mengunjunginya. Namun, di daerah dengan pH 7,8—level yang mungkin dicapai lautan di seluruh dunia pada akhir abad ini—hampir sepertiga spesies yang hidup di sekitar situ, di luar kawasan semburan, lenyap. Padahal spesies itu telah "bergenerasi-generasi beradaptasi dengan kondisi ini," ujar Hall-Spencer, "tetapi tetap saja menghilang."

Delapan puluh kilometer di lepas pantai Australia dan di belahan dunia yang berbeda dengan Castello Aragonese, terdapat Pulau One Tree yang sama kecilnya. One Tree, yang sebenarnya ditumbuhi beberapa ratus pohon, berbentuk seperti bumerang, dengan dua lengan yang menjulur ke Laut Coral. Di lekukan bumerang itu, terdapat stasiun penelitian kecil yang dikelola oleh University of Sydney. Kebetulan, saat saya baru datang pada suatu sore musim panas yang menakjubkan, seekor penyu tempayan besar mendarat ke pantai di depan bangunan lab. Seluruh populasi manusia di pulau itu—11 orang, tidak termasuk saya—berkumpul untuk menyaksikan.

Pulau One Tree adalah bagian Great Barrier Reef, kawasan karang terbesar di dunia, yang membentang sepanjang lebih dari 2.250 kilometer. Seluruh pulau itu terdiri atas pecahan karang yang mulai menumpuk setelah badai hebat sekitar 4.000 tahun yang lalu. Bahkan hingga saat ini, di pulau ini tidak ada yang benar-benar bisa disebut tanah. Pepohonannya tampak mencuat langsung dari puing-puing itu seperti tiang bendera.

Saat para ilmuwan pertama kali mengunjungi pulau itu pada tahun 1960, mereka mengajukan pertanyaan semacam, Bagaimana terumbu tumbuh? Saat ini pertanyaan yang dihadapi lebih mendesak. "Sekitar 25 persen dari seluruh spesies di laut melewatkan setidaknya sebagian hidupnya di lingkungan terumbu karang," ujar Ken Caldeira, pakar pengasaman laut di Carnegie Institution, suatu malam sebelum keluar untuk mengumpulkan sampel air di terumbu itu. "Karang membangun prasarana ekosistem, dan jelas bahwa jika karang menghilang, seluruh ekosistem pun lenyap."

Ada banyak hal yang mengancam terumbu karang. Peningkatan suhu air menyebabkan lebih sering terjadi peristiwa "pemutihan", yaitu karang berubah putih metah dan biasanya lalu mati. Penangkapan ikan berlebihan memunahkan ikan penggerogot yang menjaga agar terumbu tidak ditutupi ganggang. Limpasan pertanian menyuburkan ganggang, semakin mengganggu ekologi terumbu. Di Karibia, beberapa spesies karang yang dulu melimpah kini hancur akibat infeksi yang menyisakan kumpulan putih jaringan yang mati. Mungkin karena faktor-faktor inilah, tutupan karang di Karibia menurun sekitar 80 persen antara 1977 dan 2001.

Pengasaman lautan menambahkan ancaman lain, yang mungkin tidak langsung terlihat dampaknya, tetapi dalam jangka panjang, lebih merusak karang keras pembentuk terumbu. Pengasaman merusak struktur dasar purbanya—kerangka batu hasil sekresi berjuta-juta polip karang selama ribuan tahun.

Polip karang adalah hewan kecil yang membentuk lapisan tipis jaringan hidup di permukaan terumbu. Bentuk hewan ini agak mirip bunga, dengan enam tentakel atau lebih yang menangkap makanan dan memasukkannya ke mulut di tengah tubuhnya. (Banyak karang sebenarnya mendapatkan sebagian besar makanannya dari ganggang yang hidup dan berfotosintesis di dalamnya; saat pemutihan karang, stres menyebabkan polip melepaskan ganggang simbionnya yang berwarna gelap.) Setiap polip menyelimuti dirinya dengan rangka luar pelindung berbentuk mangkuk dari kalsium karbonat, yang turut membentuk kerangka gabungan seluruh koloni.

Untuk membuat kalsium karbonat, karang perlu dua bahan: ion kalsium dan ion karbonat. Asam bereaksi dengan ion karbonat, mengubahnya menjadi ion bikarbonat. Jadi, dengan bertambahnya karbon dioksida di atmosfer, ion karbonat dalam air berkurang, dan karang harus mengeluarkan lebih banyak energi untuk mengumpulkan ion tersebut. Dalam kondisi laboratorium, pertumbuhan kerangka karang terlihat menurun sebanding dengan pengurangan konsentrasi karbonat.

Pertumbuhan lambat mungkin bukan masalah besar di laboratorium. Namun, di laut terumbu karang terus-menerus dihancurkan dan dimakan oleh organisme lain, baik besar maupun kecil. "Terumbu karang mirip kota," kata Ove Hoegh-Guldberg, mantan pemimpin One Tree Island Research Station yang sekarang mengepalai Global Change Institute di University of Queensland Australia. "Ada perusahaan konstruksi dan ada perusahaan pembongkaran. Dengan membatasi pasokan bahan bangunan ke perusahaan konstruksi, keseimbangan menjadi lebih condong ke penghancuran, yang terjadi secara alami sepanjang waktu, bahkan pada karang yang sehat. Pada akhirnya yang terjadi adalah kota itu menghancurkan dirinya sendiri."

Dengan membandingkan hasil pengukuran yang dilakukan pada tahun 1970 dengan yang diambil baru-baru ini, tim Caldeira menemukan bahwa di satu lokasi di ujung utara pulau itu, kalsifikasi mengalami penurunan sebesar 40 persen. (Tim ini berada di One Tree untuk mengulang penelitian tersebut di ujung selatan pulau.) Tim lain yang menggunakan metode berbeda menemukan bahwa pertumbuhan karang Porites, yang membentuk bonggol besar mirip bongkah batu, turun 14 persen di Great Barrier Reef antara 1990 dan 2005.

Pengasaman laut tampaknya memengaruhi kemampuan karang untuk menghasilkan koloni baru. Pada dasarnya, karang dapat mengklon dirinya sendiri, dan seluruh koloni mungkin terdiri atas polip yang genetiknya identik. Namun, setahun sekali di musim panas, banyak spesies karang yang juga melakukan "pemijahan missal." Setiap polip membentuk kantong jambon seperti manik-manik yang berisi sel telur dan sperma. Pada malam pemijahan, semua polip melepaskan kantongnya ke air. Demikian banyaknya kantong yang ada di dalam air sehingga lautan tampak tertutup tabir keunguan.

Selina Ward, peneliti di University of Queensland, meneliti reproduksi karang di Pulau Heron, sekitar enam belas kilometer di barat One Tree, selama 16 tahun terakhir. Saya menemuinya hanya beberapa jam sebelum peristiwa pemijahan tahunan. Dia dengan saksama mengamati selusin tangki karang yang sedang melakukan pembuahan. Begitu karang melepaskan kantong jambonnya, dia berencana mengambilnya dan mengujinya dengan berbagai tingkat keasaman. Hasilnya sejauh ini menunjukkan bahwa pH rendah menyebabkan penurunan pada kesuburan, perkembangan larva, dan proses menetap—tahap saat larva karang mengendap, melekatkan diri pada sesuatu yang padat, dan mulai memproduksi koloni baru. "Dan jika ada tahapan tersebut yang tidak berjalan, tidak akan muncul karang pengganti dalam sistem ini," ujar Ward.

Terumbu yang dihidupi karang sangat penting untuk menjaga keragaman organisme yang luar biasa. Sekitar satu sampai sembilan juta spesies laut hidup di atau di sekitar terumbu karang.

Begitu kecepatan tumbuh terumbu tidak bisa lagi mengimbangi erosi, komunitas ini akan hancur. "Terumbu karang akan kehilangan fungsi ekologinya," ujar Jack Silverman, seorang anggota tim Caldeira di Pulau One Tree, kepada saya. "Terumbu karang tidak akan dapat mempertahankan strukturnya. Dan tanpa bangunan, penghuninya mau hidup di mana?" Saat itu akan tiba pada tahun 2050. Berdasarkan skenario emisi konstan seperti saat ini, konsentrasi CO2 di atmosfer saat itu akan dua kali lipat konsentrasinya pada zaman praindustri. Banyak percobaan menunjukkan bahwa terumbu karang akan mulai hancur saat itu.

Karang, tentu saja, hanya salah satu jenis pengapur. Ada ribuan yang lain. Krustasea seperti teritip juga pengapur, dan demikian pula ekinodermata seperti bintang laut dan bulu babi, serta moluska seperti kima dan tiram. Ganggang karang—organisme kecil yang menghasilkan zat yang mirip lapisan cat jambon atau lila—juga pengapur. Kalsium karbonat yang disekresikannya membantu memperkokoh terumbu karang, tapi ganggang ini juga ditemukan di tempat lain—di lamun di Castello Aragonese, misalnya. Ketiadaannya di lamun dekat semburan vulkaniklah yang membuat lamun itu tampak begitu hijau.

Pengasaman membuat semua pengapur harus bekerja lebih keras, meskipun beberapa tampak lebih berhasil mengatasinya. Dalam percobaan, para peneliti di Woods Hole Oceanographic Institution menemukan bahwa walaupun kebanyakan pengapuran menurun akibat kenaikan karbon dioksida, ada yang justru menghasilkan kapur lebih banyak.

"Organisme membuat pilihan," jelas Ulf Riebesell, pakar oseanografi biologi di Leibniz-Institut für Meereswissenschaften di Kiel, Jerman. "Makhluk hidup dapat merasakan perubahan lingkungan, dan beberapa di antaranya memiliki kemampuan untuk mengimbanginya. Hanya perlu mencurahkan energi lebih banyak untuk pengapuran. Mereka memilih, 'Baik, saya akan mengurangi reproduksi' atau 'Saya akan mengurangi pertumbuhan.'" Yang mendorong pilihan tersebut, dan apakah pilihan itu dapat bertahan lama, masih belum diketahui; kebanyakan penelitian sampai saat ini dilakukan pada makhluk yang hidup sebentar di dalam tangki, tanpa bersaing dengan spesies lain.

Sementara itu, para ilmuwan baru saja mulai mengeksplorasi pengaruh pengasaman laut terhadap organisme yang lebih kompleks seperti ikan dan mamalia laut. Perubahan di dasar jaring makanan—pteropoda pembentuk cangkang, misalnya, atau kokolitofor—pasti akan memengaruhi hewan-hewan yang lebih tinggi. Namun, perubahan pH air laut juga mungkin berdampak langsung pada fisiologinya. Misalnya, para peneliti di Australia menemukan bahwa ikan giru muda tidak bisa menemukan habitat yang cocok jika kadar CO2 meningkat. Rupanya air yang terasamkan mengganggu indra penciumannya.

Selama sejarah panjang kehidupan di Bumi, sering terjadi tingkat karbon dioksida atmosfer lebih tinggi daripada kadarnya saat ini. Namun, sangat jarang—kalaupun pernah—naik secepat sekarang. Untuk kehidupan di lautan, mungkin laju perubahanlah yang paling penting.

Untuk menemukan periode yang mirip dengan saat ini, kita harus mundur sekurangnya 55 juta tahun, ke masa yang dikenal sebagai Maksimum Termal Paleosen-Eosen atau MTPE. Selama MTPE, karbon dalam jumlah besar dilepaskan ke atmosfer, asalnya tidak diketahui dengan pasti. Suhu di seluruh dunia meningkat sekitar enam derajat Celsius, dan kandungan kimia air laut berubah secara drastis. Kedalaman laut menjadi sangat korosif sehingga di banyak tempat cangkang tak lagi menumpuk di dasar laut dan larut begitu saja. Teras-endapan periode ini terlihat sebagai lapisan tanah liat merah yang diapit dua lapisan putih kalsium karbonat. Banyak spesies foraminifera laut dalam yang punah.

Anehnya, sebagian besar organisme yang hidup di dekat permukaan laut tampaknya melewati masa MTPE dengan baik-baik saja. Mungkin makhluk laut lebih tangguh daripada yang ditunjukkan hasil penelitian di tempat-tempat seperti Castello Aragonese dan Pulau One Tree. Atau mungkin MTPE, walaupun ekstrem, tidak seekstrem yang terjadi sekarang.

Lapisan sedimen tidak mengungkapkan kecepatan pelepasan karbon pada masa MTPE. Namun, penelitian dengan pemodelan menunjukkan bahwa kejadian itu berlangsung selama ribuan tahun—cukup lambat sehingga efek kimia dapat menyebar ke seluruh laut hingga ke bagian dalam. Laju emisi saat ini kira-kira sepuluh kali lebih cepat, dan tidak tersedia cukup waktu agar lapisan air dapat bercampur. Pada abad mendatang pengasaman akan terkonsentrasi di dekat permukaan, tempat tinggal sebagian besar pengapur bahari dan semua karang tropis. "Yang kita lakukan sekarang sangat istimewa secara geologi," ujar Andy Ridgwell, pakar iklim University of Bristol.

Masih mungkin untuk menghindari skenario pengasaman yang paling ekstrem. Namun, satu-satunya cara untuk melakukannya, atau setidaknya satu-satunya cara yang ditemukan orang sejauh ini, adalah memangkas emisi CO2 secara drastis. Pada saat ini, karang dan pteropoda harus berhadapan dengan ekonomi global yang dibangun dengan bahan bakar fosil murah. Bukan pertarungan yang seimbang.

Sumber: National Geographic Indonesia

Tidak ada komentar: